TI Mendorong Perubahan Sosial
Sampai dengan bulan Juni 1999, masih menurut
sumber dari Kontan On-line, dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 220
juta jiwa, jumlah personal computer yang
ada di negeri ini hanya sekitar 2 juta unit. Itu berarti hanya 0,95% dari
jumlah penduduk. Angka ini masih sangat kecil jika dijadikan pijakan konsepsi
utopis TI yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial.
Namun, angka sekecil itu yang diperkuat dengan TI,
khususnya pemanfaatan jaringan internet, bisa cukup menimbulkan dilema bagi
pemerintah, lebih khusus lagi bagi negara yang memiliki peraturan ketat. Di
jaman Orde Baru berkuasa dulu, TI disikapi dengan penuh kebingungan, seperti
misalnya dalam kasus penggerebekan salah satu Internet Service Provider (ISP) di
Jakarta saat “Kudatuli” –kerusuhan dua puluh tujuh juli—yang menghebohkan itu.
Kasus ini layaknya menghadapkan kemajuan TI dengan alat perang dan kekuasaan.
Dan seperti biasanya, senjata lebih berkuasa daripada teknologi. Namun,
kekuatan TI yang ditekan itu kemudian tampil “jumawa” dalam episode jatuhnya Orde Baru.
Konon, dipercaya bahwa gerakan mahasiswa dan bantuan logistiknya
dikoordinasikan dengan memanfaatkan kecanggihan TI ini. Bahkan, komunikasi
militer pun disadap dan semua sandi militer diterjemahkan oleh para aktivis dan
dibagikan lewat pager, telepon gengam dan email pada para koordinator lapangan
untuk mengantisipasi blokade militer yang menyapu Jakarta dan kota-kota lainnya
saat itu, 1998 dan 1999. TI, secara langsung atau tidak, berkontribusi atas terjadinya
suatu perubahan sosial yang bermakna di Indonesia yaitu jatuhnya rejim
militeristik yang sudah berkuasa 32 tahun lamanya.
Tapi, entah dimana salahnya, pemerintah baru yang
terpilih secara relatif demokratis pasca rejim Orde Baru ini juga gagap menanggapi
kemajuan TI. Keppres 96/2000 yang garis besarnya berisi larangan masuknya
investor asing di bidang industri multimedia di Indonesia, menunjukkan dengan
jelas kebingungan pemerintah dalam merespon perkembangan bisnis multimedia,
yang tentu ada dalam mainstream TI.
Dengan Kepres itu, tersirat inferioritas yang luar biasa dalam diri pemerintah.
Pemerintah beranggapan bahwa proteksi itu diberikan dengan asumsi tidak mungkin
pemain-pemain lokal mampu bersaing dengan investor asing dalam dunia TI.
Padahal, justru banyak pemain lokal yang berteriak dan menentang keppres ini.
Satu-satunya pemain lokal yang terlihat paling getol mendukung dikeluarkannya
keppres tersebut hanyalah PT. Telkom. Kebingungan ini juga terlihat jelas dalam
perumusan UU Telekomunikasi beserta PP yang menyertainya. Dalam PP No 52/2000
misalnya, apabila seseorang ingin mendirikan warung internet, untuk mengurus
ijin pendirian warnet, harus meminta ijin yang ditandatangani oleh menteri (!).
Jelas, bahwa kebijakan pemerintah saat ini menimbulkan semakin banyak masalah
yang timbul dalam pengembangan TI.
Dalam hal politik, meningkatnya tribalisme saat
ini mungkin bisa dianggap terkait dengan kemajuan TI karena memperjelas banyak
hal sehingga setiap orang dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di mana saja,
yang pada masa lalu tidak terlihat –tapi bukannya tidak ada. Demokrasi melanda
dunia dan dunia menerapkan demokrasi itu melalui sistem telekomunikasi global.
Dengan semakin banyaknya informasi yang diterima masyarakat, pemerintah harus
mulai berubah ke arah sistem dimana peraturan dan hukum didasarkan bukan pada
kemauan pemerintah, melainkan pada legitimasi masyarakat. Konsep Negara Kesatuan misalnya,
jika dilihat dari kacamata TI dan globalisasi secara paradoks bisa jadi sudah
punah karena negara yang efektif justru memecah dirinya menjadi bagian lebih
kecil dan lebih efisien. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang terkenenal The End of the Nation State,
melihat dengan jelas bahwa gagasan “pemerintah pusat adalah bagian yang terpenting dari sebuah pemerintahan”
sudah saatnya ditinggalkan. Dunia dalam kacamata TI saat ini adalah dunia
tentang pribadi orang per orang, bukan negara (state). Dunia yang saat ini, menurut pencetus
ide “The Third Way” Anthony
Giddens dengan teori strukturasi modernisnya, sedang bermetamorfosa dari swapraja menuju swakelola.
0 comments:
Post a Comment