Teknologi
Informasi (TI) berbudaya
Teknologi Informasi (TI) yang kini
berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini. Mulai dari wahana TI yang
paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan
telepon gengam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir
dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang.
Perubahan informasi kini tidak lagi ada
dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam
skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa
Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk
diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall
Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank
Indonesia di Medan Merdeka. Demikian juga peragaan busana di Paris, yang pada
waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo, Sulawesi.
TI telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang
lambat dan mengandalkan interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang
serba cepat dan mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global.
Peran Internet tidak bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global ini
sehingga dalam derajat tertentu, TI disamaratakan dengan Internet. Internet
sendiri memang fenomenal kemunculannya sebagai salah satu tiang pancang penanda
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Internet menghilangkan semua
batas-batas fisik yang memisahkan manusia dan menyatukannya dalam dunia baru,
yaitu dunia “maya”. Setara dengan perkembangan perangkat keras komputer,
khususnya mikro-prosesor, dan infrastruktur komunikasi, TI di internet
berkembang dengan kecepatan yang sukar dibayangkan. Konsep perdagangan
elektronik melalui internet, yang dikenal dengan nama e-Commerce yang
lahir karena perkawinan TI dengan globalisasi ekonomi belum lagi genap berusia
lima tahun dikenal –dari fakta bahwa sebenarnya sudah ada sekitar 20 tahun yang
lalu—ketika sudah harus merelakan dirinya digilas dengan konsepsi e-Businessyang lebih
canggih. Jika e-Commerce “hanya” memungkinkan seseorang bertransaksi jual beli
melalui internet dan melakukan pembayaran dengan kartu kreditnya secara on-line, atau
memungkinkan seorang ibu rumah tangga memprogram lemari-esnya untuk melakukan
pemesanan saribuah secara otomatis jika stok yang disimpan di kulkas itu habis
dan membayar berbagai tagihan rumah tangganya melalui instruksi pada bank yang
dikirim dengan menekan beberapa tombol pada telepon genggamnya, maka dengan e-Business, transaksi
ekspor impor antar negara lengkap dengan pembukaan LC dan model cicilan
pembayarannya juga bisa dilakukan dengan wahana dan media yang sama.
Karena itu, wajar jika pemerintah
negara-negara Asia, negara yang dianggap kurang maju, kini mulai secara resmi
mendukung perkembangan TI setelah sekian lama diam-kebingungan karena tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengan perkembangan teknologi yang demikian cepat
ini. Bagi Asia, yang saat ini sedang bekerja keras mengejar ketinggalan dari
negara-negara maju dan pada saat yang sama mengalami perubahan sosial politik,
keberadaan internet khususnya merupakan masalah yang pelik. Lebih buruk lagi,
krisis ekonomi yang dialami Asia pada akhir tahun 90an menunda perkembangan TI
di saat AS dan negara-negara Eropa sedang berkembang pesat dalam penggunaan
teknologi itu.
Pertemuan Asian Regional Conference of the
Global Information Infrastructure Commission (GIIC)di Manila pada
bulan Juli 2000 menghasilkan rencana untuk membangun jaringan komunikasi,
menyediakan perangkat pengakses informasi dari internet untuk masyarakat,
menyusun framework penggunaan TI, membangun jaringan online-pemerintah, serta
mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan daya saing Asia. Namun memang masih
ada hambatan, terutama antara lain sumber daya yang terbatas, masih kakunya
sistem pemerintahan, serta perbedaan sosial politik di antara negara-negara
yang kini harus bekerjasama –yang bila gagal diatasi, akan tetap menempatkan
Asia di pihak yang merugi. Salah satu tindakan yang akan dilakukan oleh
pemerintah Asia yang disepakati dalam pertemuan GIIC itu adalah mempersiapkan
hukum mengenai transaksi, kejahatan internet, merek dagang, hak cipta dan
masalah lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Tabloid Kontan On-line tanggal 9
Oktober 2000 yang mengutip IDC (Information Data Corporation), dana yang sudah
dibelanjakan untuk kepentingan TI di Indonesia cukup besar. Tahun 2000 ini
diperkirakan US$ 772,9 juta, naik dari US$ 638,4 juta tahun lalu. Jumlah ini
belum termasuk investasi dotcom yang sempat bergairah obor-blarak dalam
dua tahun terakhir. Dari US$ 772,9 juta itu, sebagian besar (57,7%)
dibelanjakan untuk perangkat keras seperti PC dan notebook. Sebagian yang lain
(14,4%) dibelanjakan untuk perangkat lunak. Seharusnya, angka untuk perangkat
lunak ini jauh lebih besar daripada untuk perangkat kerasnya. Hal ini diduga
keras karena di Indonesia tingkat pembajakan masih di atas 90%. Sementara dari
17 sektor yang membelanjakan uang untuk TI tadi, sektor yang paling banyak
mengeluarkan uang adalah komunikasi & media (19,3%), diikuti oleh discreet manufacturing (16,9%),
pemerintah (12,4%), dan perbankan (11,8%).
Referensi : http://audentis.wordpress.com/2000/12/25/globalisasi-teknologi-informasi-dan-perubahan-sosial/
0 comments:
Post a Comment